Selasa, 31 Mei 2011

BAB.13 Neraca Pembayaran, Arus Modal Asing, dan Utang Luar Negeri

BAB. 13

Neraca Pembayaran, Arus Modal Asing,
dan Utang Luar Negeri

A. Pendahuluan

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988 menggariskan bahwa kebijaksanaan pembangunan diarahkan untuk selalu bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan selalu mengacu pada Trilogi Pembangunan tersebut secara serasi. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan-guncangan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di bidang perdagangan, melalui deregulasi dan debirokrati-sasi, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembangan
ekspor non migas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan neraca pambayaran lainnya juga dilanjutkan, antara lain dalam bentuk pengelolaan hutang dan pinjaman luar negeri secara cermat dan hati-hati, terpeliharanya kurs valuta asing yang mantap dan realistis, serta terpeliharanya cadangan devisa yang memadai.

B. Perkembangan Internasioanal

Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama empat tahun Repelita V sangat dipengaruhi oleh tantangan yang timbul dari perkembangan situasi politik, ekonomi dan moneter dunia.
Selama dasawarsa 1980-an, perekonomian dunia mencapai rekor pertumbuhan tertinggi pada tahun 1988, yaitu sebesar 4,6%. Setelah itu, perekonomian dunia mengalami kemerosotan hingga mencapai 0,6% pada tahun 1991. Namun dalam tahun 1992 perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 1,8 % . Dalam tahun 1992, negara-negara industri dan negara-negara berkembang masing-masing tumbuh sebesar 1,5 % dan 6, 1 %. Ini merupakan suatu perbaikan dari tahun 1991 sewaktu kelompok-kelompok negara ini, mencapai pertumbuhan masing-masing sebesar 0,6% dan 4,2%. Di antara negara-negara berkembang tersebut, kelompok negara di Asia dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi, bahkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,8% menjadi 7,9 % . Peningkatan cukup besar ini juga diikuti oleh negara-negara berkembang di Timur Tengah yang pertumbuhannya meningkat dari 2,1 % pada tahun 1991 menjadi 9,9% pada tahun 1992. Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet terus mengalami kemerosotan yang makin parah dalam produksi nasionalnya. Pada tahun 19.91 kelompok negara-negara ini ekonominya mengalami penurunan sebesar 10,1 % dan pada
tahun 1992 mengalami penurunan yang lebih besar lagi, yaitu 15,5% . Perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet perlu terus diamati mengingat di masa depan kelompok negara ini akan menjadi saingan yang cukup berat bagi negara-negara berkembang, apabila mereka telah selesai dengan tahap konsolidasinya dan ekonominya tumbuh kembali.
Seiring dengan peningkatan produksi dunia, laju pertumbuhan perdagangan internasional juga mengalami peningkatan dari 2,3% dalam tahun 1991 menjadi 4,2% dalam tahun 1992. Volume ekspor dan impor negara-negara industri dalam tahun 1992 meningkat masing-masing sebesar 3,2% dan 4,0%, begitu pula volume ekspor dan impor negara-negara berkembang yang meningkat menjadi 8,4% dan 10,2% dalam tahun 1992.
Sementara itu harga minyak bumi di pasaran internasional mengalami penurunan sebesar 0,5 % selama tahun 1992. Namun demikian, penurunan ini tidak sebesar penurunan yang terjadi pada tahun 1991 yaitu sebesar 17,0%. Begitu pula harga komoditi primer lainnya seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang merosot dengan 0,1% pada tahun 1992. Perkembangan ini menyebabkan turunnya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang. Dalam tahun tersebut nilai tukar perdagangan menurun sebesar 1,4% untuk negara-negara berkembang, sedangkan untuk negara-negara industri justru meningkat sebesar 1,8%.
Secara keseluruhan dalam tahun 1992 negara-negara industri mengalami kenaikan dalam defisit transaksi berjalan menjadi US$ 38,5 miliar. Untuk negara-negara berkembang defisit transaksi berjalan sedikit menurun dari US$ 81,9 miliar pada tahun 1991 menjadi US$ 78,4 miliar pada tahun 1992.
Berakhirnya perang dingin, restrukturisasi sistem ekonomi dan politik nasional di berbagai negara serta proses regionalisasi merupakan peristiwa-peristiwa penting yang dampaknya pada
tatanan ekonomi dunia baru masih belum jelas dan perlu terus diamati. Perkembangan yang cukup penting adalah penyatuan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dicanangkan pada pertemuan puncak Maastricht di bulan Desember 1991. Pertemuan puncak ter¬sebut diadakan dalam rangka melicinkan jalan pembentukan Masya¬rakat Eropa ke dalam satu unit politik, ekonomi dan moneter (EMU) yang direncanakan terbentuk pada tahun 1999. Tujuan utama pem¬bentukan Masyarakat Eropa adalah untuk meningkatkan kesejahtera¬an sosial dan ekonomi yang harmonis dan berkelanjutan dengan men¬ciptakan suatu kawasan tanpa batas internal serta terciptanya suatu unit ekonomi dan moneter dengan menggunakan satu mata uang.

Seiring dengan itu, dalam bulan Agustus 1992 ditandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) oleh negara-negara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, yang akan menjadi efektif pada Januari 1994. Tujuan pembentukan NAFTA tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan berbagai hambatan perdagangan, menciptakan iklim untuk mendorong persaingan yang adil, meningkatkan peluang investasi, memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual, dan menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian perselisihan perdagangan antara ketiga negara anggotanya.
Dalam pada itu, perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka Putaran Uruguay pada tahun 1992 masih tetap mengalami hambatan. Belum terdapatnya kesepakatan mengenai perdagangan hasil-hasil pertanian antara Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang merupakan penyebab utama kemacetan perundingan tersebut. Terhambatnya kesepakatan GATT ini mempengaruhi prospek terciptanya perdagangan dunia yang terbuka, transparan dan mempunyai aturan disiplin yang efektif.
Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka penyesuaian tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama internasional, termasuk UNCTAD dan Gerakan Non Blok. Pad bulan September 1992, di Jakarta diadakan Konperensi Tingkat Tinggi Ke-10 Gerakan Non Blok. Melalui Pesan Jakarta, gerakan tersebut menyerukan agar dilakukan demokratisasi dalam hubungan antar negara dan dihidupkan kembali dialog Utara-Selatan secara konstruktif.
Sementara itu, kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN terus dikembangkan. Terdorong oleh berbagai perubahan struktural dalam perekonomian dunia dan untuk menghadapi kejadian semakin meluasnya blok-blok perdagangan dengan kecenderungan ke arah proteksionisme, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN pada tahun 1991 sepakat untuk mempercepat langkah-langkah kerja sama ke arah integrasi ekonomi. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1992 disetujui Perjanjian mengenai Tarif Preferensial Efektif Seragam (CEPT) menuju Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), yang efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 1993.

C. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Perkembangan Luar Negri
1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri
Selama empat tahun pelaksanaan Repelita V, berbagai kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri telah diambil dengan tujuan untuk mempertahankan momentum pembangunan nasional, antara lain kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
Dalam tahun 1992/93, langkah-langkah deregulasi yang ditempuh antara lain berupa penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pengenaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, penurunan dan penghapusan bea masuk dan bea masuk tambahan komoditi tertentu, peninjauan kembali Daftar Negatif Investasi (DNI), dan penyederhanaan tata cara penanaman modal.
Di bidang ekspor, melalui Paket 27 Mei 1992, larangan ekspor beberapa komoditi seperti kayu bulat/log dalam bentuk ter¬tentu, kayu ramin, serta meranti putih dan agathis bentuk tertentu, telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor (PE) dan atau Pajak Ekspor Tambahan (PET). Sedangkan kulit mentah jenis tertentu yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor secara persentase diganti dengan pajak ekspor yang dihitung secara spesifik. Selain itu, ketentuan larangan ekspor rotan juga mengalami penyederhanaan. Mulai Juni 1992, larangan ekspor rotan dalam bentuk bahan mentah dan barang setengah jadi diganti dengan pengenaan pajak ekspor dan atau pajak ekspor tambahan.

Untuk memperlancar arus barang dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi, mulai bulan Juli 1992 PT Sucofindo ditunjuk sebagai pemeriksa barang eskpor dan barang yang dimasukkan/dikeluarkan ke dan dari kawasan berikat di seluruh Indonesia. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan tata cara penyampaian laporan realisasi ekspor dan tata cara pemberian fasilitas ekspor oleh Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (Bapeksta Keuangan). Dalam pada itu, terhitung mulai bulan Oktober 1992 produsen pengekspor barang tidak perlu membuat Laporan Keterkaitan (LK), yang merupakan laporan pemakaian barang dan bahan impor untuk memproduksi komoditi ekspor, guna memperoleh pembebasan dan pengembalian bea masuk ataupun pungutan lainnya. Sejak waktu itu, Laporan Keterkaitan (LK) diganti menjadi Laporan Pemakaian Bahan (LPB) yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Tata niaga ekspor kayu (maniok) ke negara-negara Masyarakat Eropa (ME) juga diatur kembali. Mulai bulan Oktober 1992 kuota ekspor maniok untuk tahun 1993 ke negara-negara ME dibagikan secara proporsional ke masing-masing eksportir berdasarkan kinerja sebelumnya dan atau kemampuan eksportir untuk mengekspor maniok ke negara-negara di luar ME yang dibuktikan dengan "Landing Certificate" yang dikeluarkan oleh instansi Bea dan Cukai di pelabuhan negara tujuan dan "Loading Certificate" yang
dikeluarkan oleh PT Sucofindo. Pengaturan kembali tata niaga ini dilakukan untuk lebih meringankan persyaratan bagi eksportir dalam mengekspor maniok ke nagara-negara ME.

Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan ekspor non migas, perluasan pasaran ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1992/93 dilaksanakan pengiriman berbagai misi dagang ke luar negeri, pameran-pameran dagang di luar negeri serta kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri berkunjung ke Indonesia. Khusus dalam usaha pemasaran barang kerajinan, pada bulan Juli 1992 Indonesia mengikuti pameran California Gift Show di Amerika Serikat.

Selain itu, untuk menjaga kesinambungan dan memperluas akses produk ekspor, peran aktif Indonesia di berbagai forum interna-sional, baik hubungan bilateral, regional dan multilateral terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, Indonesia berpartisipasi aktif dalam negosiasi Putaran Uruguay (GATT), Konperensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), kerja sama ekonomi ASEAN dan berbagai forum kerja sama internasional seperti Organisasi Kopi Internasional (ICO), Asosiasi Negara-negara Penghasil Karet Alam (ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Khusus mengenai timah, untuk menjaga kestabilan harga timah di pasaran dunia, negara-negara anggota ATPC dalam sidangnya di Jakarta pada bulan September 1992 telah sepakat membatasi ekspor timah selama tahun 1993 menjadi 2,7% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 89.400 ton. Dalam kaitan itu, Indonesia memperoleh jatah kuota ekspor timah sebesar 30.500 ton selama tahun 1993, atau naik 9,0% dibanding kuota tahun 1992.

Dalam pertemuan puncak di Singapura pada bulan Januari 1992, negara-negara ASEAN sepakat untuk lebih mengintegrasikan ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam bentuk Kerangka Perjanjian untuk Meningkatkan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Program ini ditujukan untuk mewujudkan integrasi yang diawali dengan kese-pakatan untuk secara bertahap, yaitu mulai 1 Januari 1993 menerap-kan Tarif Preferensial Efektif •Seragam (CEPT) yang diarahkan pada pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Untuk itu, dalam tahun 1992 telah ditetapkan dua program penurunan tarif, yaitu program penurunan tarif yang dipercepat (Fast Track) dan program penurunan tarif normal (Normal Track). Program penurun-an tarif yang dipercepat meliputi 15 kelompok produk yang telah disepakati. Berdasarkan program tersebut, produk-produk tertentu yang tarifnya di atas 20% akan diturunkan menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Kemudian untuk komoditi yang mempunyai tarif lebih kecil atau sama dengan 20% akan dikurangi menjadi 0-5% dalam waktu 7 tahun. Sementara itu melalui program penurunan tarif normal, komoditi yang mempunyai tarif di bawah 20 % akan dikurangi hingga menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Komoditi yang bertarif di atas 20% akan dikurangi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama menjadi 20% dalam waktu 5-8 tahun dan tahap kedua dikurangi lagi menjadi 0-5 % dalam waktu 7 tahun berikutnya.

Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan deregu-lasi sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Paket 6 Juli 1992 guna membebaskan dan melonggarkan tata niaga. beberapa komoditi impor, menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan terhadap komoditi tertentu, serta menyederhanakan tata niaga impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.

Untuk lebih memperlancar arus barang dan pengadaan bahan baku, bahan penolong dan sarana usaha, sebanyak 241 pos tarif yang terdiri dari 12 pos tarif produk pertanian, 226 pos tarif produk batik dan 3 pos tarif produk industri dibebaskan dari tata niaga impor. Sementara itu dari 464 pos tarif yang masih diatur tata niaganya, sebanyak 36 pos tarif untuk produk besi dan baja dilonggarkan.

Di samping itu, tingkat bea masuk dan bea masuk tambahan barang-barang impor disesuaikan. Untuk tingkat bea masuk, sebanyak 35 pos tarif dinaikkan, 44 pos tarif diturunkan dan 2 pos tarif diubah klasifikasinya. Sedangkan tingkat bea masuk tambahan sebanyak 80 pos tarif dinaikkan, 81 pos tarif diturunkan, dan sebanyak 184 pos tarif dihapuskan. Selanjutnya tata niaga, klasifikasi tarif, tingkat bea masuk dan tingkat bea masuk tambahan barang-barang impor seperti karpet dan permadani, produk kimia dan tekstil tertentu, serta komponen/suku cadang untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat terbang disempurnakan kembali.
Untuk menumbuhkan usaha jasa industri baru dalam kemam-puan rekondisi mesin sekaligus mengurangi biaya investasi, impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai dibebaskan. Dengan demikian mulai bulan Juli 1992 barang-barang tersebut, selama tidak tercantum dalam daftar negatif yang disusun oleh Departemen Per-industrian, dapat diimpor langsung oleh perusahaan pemakai ataupun oleh perusahaan rekondisi. Sedangkan pemeriksaan atas barang-barang impor tersebut dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.

Selanjutnya untuk meningkatkan tertib administrasi, peng-awasan dan pengamanan dokumen impor, pada bulan Pebruari 1993 bentuk dan isi dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) disempurnakan. Terhitung 60 hari sejak dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, dokumen PIUD dapat dibedakan menjadi 8 jenis sesuai dengan jenis fasilitas impor yang diperoleh.

Di samping itu untuk menunjang penanaman modal, mening-katkan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta untuk me-ningkatkan kegiatan ekonomi, pada bulan Pebruari 1993 diberla-kukan ketentuan khusus mengenai Entreport Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), suatu tempat atau ruang di wilayah pabean Indone-sia untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan barang. Mulai bulan tersebut, diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus yaitu: (1) Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ditangguhkan; (2) Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) tidak dipungut; sedangkan (3) untuk penyerahan dalam negeri penye¬lesaian pungutan-pungutan yang terhutang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perusahaan atau industri yang dapat ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan yang berdomisili di luar ataupun di dalam Kawasan Industri di wilayah pabean Indonesia.

Khusus mengenai pinjaman luar negeri, pada bulan Maret 1992 Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mem-bubarkan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dike-tuai oleh pemerintah Belanda. Sikap tegas tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu berpegang teguh kepada pedoman bahwa pinjaman luar negeri tidak boleh disertai dengan ikatan politik, seba-gaimana ditetapkan dalam GBHN. Sebagai gantinya dibentuk Con-sultative Group for Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.

Di bidang jasa jasa, usaha untuk meningkatkan penerimaan devisa dan sekaligus menghemat penggunaannya terus dilanjutkan. Di antara jasa jasa, pariwisata merupakan sumber penerimaan devisa yang makin penting. Untuk itu Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum kepariwisataan internasional seperti Tournament of Roses di Amerika Serikat, PATA 1992 di Taiwan, dan World Expo 1992 di Spanyol. Di tingkat nasional tahun 1991 telah ditetapkan sebagai Tahun Kunjungan Wisata Indonesia yang dilanjutkan dengan Tahun Kunjungan ASEAN 1992. Selanjutnya telah ditetapkan pula Dekade Kunjungan Indonesia tahun 1993 sampai tahun 2000. Di samping sektor pariwisata, terus diusahakan peningkatan penerimaan devisa di bidang jasa jasa baru seperti transfer penghasilan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta jasa perawatan dan bengkel pesawat terbang milik Garuda Indonesia.

Untuk mendorong penanaman modal swasta, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), ketentuan-ketentuan mengenai penanaman modal disempurnakan lagi. Paket kebijaksanaan bulan Juli 1992 meliputi antara lain penyederhanaan Daftar Negatif Investasi (DNI), Pengaturan kembali tata cara penanaman modal, dan.penyempurnaan tentang pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing. SeLanjutnya paket kebijaksanaan ini juga mengatur proses penyelesaian izin kerja bagi tenaga kerja, asing yang keahliannya belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga Indonesia.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Situasi neraca pembayaran selama empat tahun pelaksanaan Repelita V secara umum tetap terkendali dalam batas-batas yang wajar. Perkembangan neraca pembayaran tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekspor, impor dan arus modal luar negeri.

Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V nilai ekspor secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 15,5% per tahun, dari US$ 19,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 35,3 miliar pada tahun 1992/93 (lihat Tabel V-1). Peningkatan pertumbuhan ini terutama berasal dari laju pertumbuhan ekspor non migas yang meningkat rata-rata 19,5% per tahun sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Namun peningkatan laju pertumbuhan ekspor non migas yang pesat ini tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan gas alam cair. Selama kurun waktu tersebut, ekspor minyak bumi dan gas alam cair masing-masing hanya meningkat rata-rata sebesar 6,2% dan 11,8% per tahun, atau masing-masing menjadi sebesar US$ 6,4 miliar dan US$ 4,1 miliar pada tahun 1992/93.

Sementara itu, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan semakin mantap sehingga semakin mampu berperan sebagai sumber penerimaan devisa utama. Dalam tiga tahun terakhir ini, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan terus meningkat dari 54,6% pada tahun 1990/91 menjadi 64,0% pada tahun 1991/92 dan menjadi 70,3 % pada tahun 1992/93.

tahun pelaksanaan Repelita V bervariasi -sejalan dengan kegiatan industri dan investasi di dalam negeri. Pada tahun 1992/93 nilai impor keseluruhan mencapai sebesar US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata sebesar 17,5% per tahun sejak tahun 1988/89. Dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V, suhu perekonomian Indonesia meningkat dan hal ini antara lain tercermin dalam peningkatan impor barang, terutama impor bahan baku/ penolong dan barang modal, yang cukup besar. Nilai impor non migas dalam tahun 1989/90 naik dengan 21,3% dan naik lagi dengan 31,0% dalam tahun 1990/91. Dengan langkah-langkah penyejukan mesin perekonomian yang ditempuh waktu itu, laju pertumbuhan nilai impor non migas dalam dua tahun terakhir dapat diturunkan menjadi 11,4% pada tahun 1991/92 dan 9,7% pada tahun 1992/93.

Pengeluaran devisa neto untuk jasa jasa naik rata-rata sebesar 9,4% per tahun dari sebesar US$ 7,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 10,5 miliar pada tahun 1992/93. Kenaikan ini terutama berasal dari jasa jasa sektor non migas dan sektor gas alam cair yang masing-masing meningkat rata-rata sebesar 10,1 % dan 15,3 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan jasa jasa dari sektor pariwisata meningkat cukup pesat yaitu dari sebesar US$ 1,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 3,3 miliar pada tahun 1992/93.

Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut di atas mengakibatkan besarnya defisit transaksi berjalan Indonesia dari tahun ke tahun bervariasi. Pada tahun 1988/89 defisit transaksi ber-jalan adalah sebesar US$ 1,9 miliar, dan karena peningkatan suhu perekonomian jumlah ini meningkat menjadi US$ 3,7 miliar pada tahun 1990/91 dan US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Selanjutnya defisit transaksi berjalan turun menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun 1992/93.

Dalam 5 tahun terakhir, pinjaman di sektor Pemerintah turun dari US$ 6.588 juta pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5.755 juta pada tahun 1992/93. Hal ini dimungkinkan oleh keberhasilan
peningkatan ekspor non migas dan mobilisasi sumber-sumber dana dari dalam negeri. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bentuk bantu-an proyek bersyarat lunak, di samping bentuk-bentuk pinjaman lain-nya dan bantuan program. Sementara itu, karena banyak pinjaman yang sudah jatuh waktu, pelunasan pfnjaman Pemerintah naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 4,8 miliar pada tahun 1992/93.

Di sektor swasta, pemasukan modal (neto) sejak tahun 1988/89 menunjukkan peningkatan cukup cepat sampai dengan tahun 1990/91, kemudian melambat berkat adanya kebijaksanaan pengen-dalian moneter untuk mendinginkan suhu perekonomian. Di antara transaksi modal tersebut penanaman modal asing meningkat pesat dari US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 menjadi hampir US$ 2,5 miliar dalam tahun 1992/93. Dalam tiga tahun terakhir modal lain-nya (neto) mengalami penurunan cukup besar yaitu dari US$ 3,6 miliar pada tahun 1990/91 menjadi sebesar US$ 1,3 miliar pada tahun 1992/93.

Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan cadangan devisa meningkat dari US$ 6.011 juta pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 11.981 juta pada akhir tahun 1992/93. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai impor (c & f) non migas selama 5,5 bulan.


D. EKSPOR

Seperti disebutkan di atas, perkembangan ekspor secara kese¬luruhan sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 menun¬jukkan kecenderungan yang meningkat. Seperti terlihat pada Tabel V-1, nilainya dalam tahun 1992/93 telah mencapai US$ 35,3 miliar, atau meningkat rata-rata sebesar 15,5% setiap tahunnya. Peningkat-an yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan ekspor non migas dan ekspor gas (LNG dan LPG) sementara ekspor minyak bumi menunjukkan laju pertumbuhan yang melambat.

sebesar 19,5% sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Laju pertumbuhan ekspor non migas yang cukup tinggi ini merupakan sukses tersendiri mengingat dalam periode yang sama perekonomian dunia masih ditandai oleh kelesuan. Adanya pening¬katan yang relatif cepat tersebut tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Iangkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi dalam mengefisienkan perekonomian, diversifikasi produk ekspor, dan usaha lainnya, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing ekspor non migas. Berbagai faktor yang mempengaruhi ekspor non migas, baik internal maupun eksternal, juga terus diikuti perkem¬bangannya sekaligus diupayakan pemecahannya agar ekspor non migas dapat terus meningkat.

Selain langkah-langkah kebijakan tersebut di atas, dilanjutkan upaya peningkatan ekspor melalui cara imbal beli dengan beberapa negara, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan ekspor non migas, baik dalam bentuk peningkatan volume ekspor maupun dalam jumlah eksportir, jumlah negara tujuan ekspor, jenis komoditi ekspor dan transaksi ekspor lainnya, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan realisasi nilai ekspor non migas.

Perkembangan nilai ekspor non migas menunjukkan gambaran sebagai berikut.

Selama 4 tahun terakhir ini ekspor tekstil dan pakaian jadi meningkat pesat menjadi lebih dari 3,5 kali dari US$ 1.570,7 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 5.527,1 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 37,0% per tahun (lihat Tabel V-4). Keberhasilan ekspor tekstil dan pakaian jadi tersebut terutama karena didukung oleh usaha perluasan pasar, perbaikan mutu, diversifikasi produksi tekstil, dan penanaman modal asing, yang secara bertahap terus dikembangkan.

Sementara itu, nilai ekspor kayu lapis meningkat dari US$ 2.095,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 2:861,3 juta
dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,1 % per tahun. Rendahnya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan diskriminatif yang dilakukan oleh Jepang dan pembatasan penggunaan produk-produk kayu yang berasal dari kayu tropis oleh negara-negara Eropa Barat.

Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium meningkat dari US$ 1.089,6 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 1.529,6 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,8% per tahun. Perkembangan tersebut didukung oleh meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang utama, yaitu tembaga, batu bara dan emas, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi hasil-hasil tambang tersebut.

Dalam tahun 1992/93 nilai ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya hanya sebesar US$ 1.120,8 juta, atau turun sebesar 2,6% bila dibandingkan dengan tahun 1991/92. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya harga dari salah satu komoditi penting dalam kelompok ini, yaitu udang, sebagai akibat adanya kelebihan pasokan di pasaran Jepang dengan masuknya udang putih dari RRC. Selain itu, masih ditemui adanya hambatan berupa tingginya bea masuk ke pasaran Eropa serta masuknya produk udang Indonesia dalam daftar hitam karena adanya anggapan bahwa Indonesia masih merupakan daerah rawan wabah penyakit kolera.

Sementara itu, pertumbuhan ekspor karet cenderung melambat. Nilai ekspornya dalam tahun 1992/93 hanya sebesar US$ 941,0 juta, atau hanya meningkat sebesar 0,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ini terutama karena melemahnya harga karet yang antara lain disebabkan oleh kegagalan Sidang Organisasi Karet Alam Internasional (INRO) dalam merumuskan ketentuan mengenai mekanisme harga.

Nilai ekspor hasil-hasil industri pengolahan yang paling menonjol adalah nilai ekspor alat listrik. Selama 4 tahun terakhir, nilai ekspornya mengalami peningkatan secara berturut-turut sebesar

V/24
66,2% pada tahun 1989/90, 47,1 % pada tahun 1990/91, 110,3 % pada tahun 1991/92, dan 61,5 % pada tahun 1992/93, sehingga pada tahun 1992/93 nilainya mencapai US$ 878,0 juta. Peningkatan tersebut terutama karena perluasan pasar, peningkatan volume ekspor, dan peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri. Ekspornya terutama ditujukan ke Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat.

Dalam pada itu, nilai ekspor kerajinan tangan berupa kain tenun/sulaman, barang kerajinan dari kayu dan anyam-anyaman, juga mengalami peningkatan. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 36,0% pada tahun 1989/90, 42,1 % pada tahun 1990/91, 37,2% pada tahun 1991/92, dan 11,9% pada tahun 1992/93.

Sebaliknya, perkembangan ekspor kopi selama 4 tahun terakhir ini terus menurun. Nilainya adalah sebesar US$ 570,6 juta dalam tahun 1988/89 dan terus menurun sehingga menjadi US$ 348,8 juta dalam tahun 1992/93. Penurunan ini disebabkan oleh semakin menurunnya volume ekspor, serta terus menurunnya harga kopi di pasar internasional.

Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit dalam 3 tahun terakhir terus meningkat. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 1,8% pada tahun 1990/91, 23,0% pada tahun ' 1991/92, dan 36,4% pada tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berketiaan dengan meningkatnya produksi, dihapuskannya tata niaga ekspor kelapa sawit serta berkurangnya pasokan minyak kedele dan minyak kelapa di pasaran internasional.

Ekspor alas kaki merupakan salah satu komoditi penting dari ekspor hasil-hasil lainnya dan menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada tahun 1988/89 nilai ekspornya baru mencapai US$ 110,8 juta, tetapi pada tahun 1992/93 telah mencapai US$ 1,5 miliar. Peningkatan yang cukup pesat ini antara lain disebabkan oleh
meningkatnya produksi sebagai hasil relokasi industri sepatu terutama relokasi perusahaan Korea Selatan yang mendominasi produk sepatu olahraga.

Sementara itu, harga rata-rata minyak bumi Indonesia yang dicapai selama tahun 1992/93 adalah sebesar US$ 18,61 per barel dengan volume ekspor sebesar 348,3 juta barel. Nilai ekspornya pada tahun itu hanya mencapai US$ 6,4 miliar, atau turun dengan 7,4 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Di lain pihak ekspor gas alam cair (LNG dan LPG) menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selama 4 tahun terakhir nilai ekspornya meningkat dari US$ 2.633,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 4.118,0 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 11,8% per tahun. Perkembangan ini menuju pula ke arah diversifikasi ekspor migas sehingga mengurangi ketergantungan pada ekspor minyak bumi.


E. IMPOR DAN JASA-JASA

Perkembangan impor selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V berkaitan erat dengan laju pertumbuhan produksi di dalam negeri, yang berarti semakin besarnya kebutuhan akan impor bahan baku dan penolong serta barang-barang modal sesuai dengan tahap-tahap pembangunan. Usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan telah pula mempengaruhi laju pertumbuhan impor.

Pada tahun 1992/93 keseluruhan nilai impor (f.o.b.) telah mencapai US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata per tahun sebesar 17,5 % sejak tahun 1988/89 (Tabel V-1). Impor non migas pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 18,0% per tahun dari US$ 12,2 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 23,8 miliar pada tahun 1992/93, sedangkan impor migas meningkat rata-rata sebesar 14,5 % per tahun sehingga mencapai US$ 3,5 miliar.
Perkembangan dari beberapa komoditi impor non migas (c.i.f.) menurut golongan ekonomi yang diolah oleh Biro Pusat Statistik adalah sebagai berikut (Tabel V-6 dan Tabel V-7).
Komposisi impor barang konsumsi dalam tahun 1992 meningkat sedikit dari tahun 1991, yaitu dari 3,9% menjadi 4,6%. Barang dalam kelompok ini yang menunjukkan peningkatan terbesar adalah impor pangan dan minuman, yaitu dari US$ 235,8 juta menjadi US$ 419,9 juta, sebagai penunjang kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu, dominasi impor non migas dalam tahun 1992 masih dipegang oleh impor bahan baku/penolong, yang peranannya meningkat dari 63,5% dalam tahun 1991 menjadi 66,1 % dalam tahun 1992. Kenaikan impornya terjadi antara lain pada komoditi bahan baku industri pangan dan minuman sebesar 15,8%, bahan baku industri lainnya sebesar 11,4%, serta suku cadang dan perlengkapan sebesar 9,6%.
Selanjutnya, walaupun peranan impor barang modal menurun dari 32,6% dalam tahun 1991 menjadi 29,3% dalam tahun 1992, namun terjadi peningkatan pada barang-barang seperti peralatan listrik sebesar 65,9%, mesin pembangkit tenaga listrik sebesar 50,1 %, dan alat telekomunikasi sebesar 39,1 %. Sedangkan impor alat pengangkutan turun sangat tajam sebesar 37,8%.
Perkembangan tersebut di atas mencerminkan makin banyak-nya barang-barang konsumsi yang diproduksikan di dalam negeri dan makin mendalamnya serta makin meluasnya kegiatan industri peng-olahan yang dilakukan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan pesatnya pengembangan industri dalam negeri.
Dalam pada itu, berbagai kebijaksanaan di bidang jasa jasa, terutama yang berkaitan dengan penerimaan devisa, terus disempur-nakan. Seperti terlihat dalam Tabel V-1 dalam tahun 1992/93 pengeluaran neto untuk jasa jasa telah mencapai US$ 10.548 juta,
atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan dengan tahun sebelum-nya. Di sektor migas, pengeluaran jasa jasa neto telah meningkat dengan 13,3 % , yaitu dari US$ 3.001 juta pada tahun 1991/92 men-jadi US$ 3.399 juta pada.tahun 1992/93. Ini terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi minyak bumi.
Sementara itu, pengeluaran neto untuk impor jasa jasa di sektor non migas telah pula meningkat dari US$ 6.262 juta pada tahun 1991/92 menjadi US$ 7.149 juta pada tahun 1992/93, atau meningkat sebesar 14,2 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang cukup tinggi ini te.rutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, biaya angkutan barang impor, dan menurunnya penerimaan bunga bank-bank devisa. Dalam pada itu, penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 27,4%, yaitu dari US$ 2.602 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 3.314 juta dalam tahun 1992/93.


F. Perkembangan Pinjaman Luar Negri Pemerintah
Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan pelengkap dalam pembangunan, tidak boleh disertai dengan ikatan politik apapun, dan harus dimanfaatkan secara hati-hati, baik mengenai jumlah, persyaratan maupun penggunaannya, serta digunakan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian ekonomi nasional di kemudian hari.

Dalam tahun 1992/93 persetujuan pinjaman luar negeri Pemerintah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 9.121,4 juta menjadi US$ 7.018,8 juta. Persetujuan pinjaman lunak yang terdiri dari Fast Disbursing Assistance dan bantuan proyek meningkat dari US$ 5.255,1 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$. 5.498,7 juta dalam tahun 1992/93. Di lain pihak, persetujuan pinjaman proyek lainnya, yang terdiri dari kredit ekspor dan kredit komersial menurun dari
US$ 3.466,3 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 1.520,1 juta dalam tahun 1992/93. Dalam pada itu, pinjaman tunai (komersial) mulai tahun 1992/93 ditiadakan (lihat Tabel V-8).
Ditinjau dari komposisi pinjaman, pinjaman luar negeri Pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak. Peranan pinjaman lunak telah meningkat dari 57,6% pada tahun 1991/92 menjadi 78,3% pada tahun 1992/93 seperti terlihat pada Tabel V-9. Perkembangan tersebut merupakan perwujudan dari kebi¬jaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali.

Pelunasan pokok dan pembayaran bunga pinjaman meningkat terus dari US$ 6.328 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 7.535 juta dalam tahun 1992/93. Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya proyek-proyek yang dibangun dan memadatnya jatuh waktu pinjaman.

Sementara itu, perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap ekspor (Debt Service Ratio) terus menurun, dari 31,9% dalam tahun 1988/89 menjadi 21,3% dalam tahun 1992/93.

Sumber:
http://www.bps.go.id/brs_file/exim-01sep09.pdf

BAB.12 KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGRI

KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGRI

BAB 12

KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGRI

A. Teori Perdagangan Internasional

I. TEORI KLASIK

Absolute Advantage dari Adam Smith
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value )
Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas. dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Banyaknya Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Menghasilkan per Unit
Produksi Amerika Inggris
Gandum 8 10
Pakaian 4 2
Dari tabel diatas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit. (10 > 8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.

Comparative Advantage : JS Mill

Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar )
Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Contoh :
Produksi 10 orang dalam 1 minggu
Produksi Amerika Inggris
Gandum 6 bakul 2 bakul
Pakaian 10 yard 6 yard
Menurut teori ini perdagangan antara Amerika dengan Inggris tidak akan timbul karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi comparative Advantagenya.
Besarnya comparative advantage untuk Amerika , dalam produksi gandum 6 bakul disbanding 2 bakul dari Inggris atau =3 : 1. Dalam produksi pakaian 10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Disini Amerika memiliki comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari 5/3 : 1.
Untuk Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul disbanding 6 bakul dari Amerika atau 1/3 : 1. Dalam produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau = 3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 : 1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of Trade ) ditentukan dengan batas - batas nilai tujar masing - masing barang didalam negeri.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.

II. COMPARATIVE COST DARI DAVID RICARDO
1. Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Data Hipotesis Cost Comparative
Negara Produksi 1 Kg gula 1 m Kain
Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja
China 6 hari kerja 5 hari kerja
Indonesia memiliki keunggulan absolute dibanding Cina untuk kedua produk diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki cost comparative advantage atau labor efficiency.
Berdasarkan perbandingan Cost Comparative advantage efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter kain ( hari bkerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.
Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.

2. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)

Suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak produktif
Walaupun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara yang memiliki labor productivity. kelemahan teori klasik Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara 2 negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1 negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari negara tersebut memiliki perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau production Comparative Advantage.
Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga
kerja
yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
2. Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak
berpengaruh.


Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu , suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi.
Paham klasik dapat menerangkan comparative advantage yang diperoleh dari perdagangan luar negeri timbul sebagai akibat dari perbedaan harga relatif ataupun tenaga kerja dari barang-barang tersebut yang diperdagangkan.

III. TEORI MODERN

Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:

1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah
labor intensity atau capital intensity.

A. The Proportional Factors Theory
Teori modern Heckescher-ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggabarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggabarkan total kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu.
Analisis teori H-O :
a. Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing Negara
b. Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya
c. Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya.
d. Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena
negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya.

Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.

B. Paradoks Leontief

Wassily Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks, melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta, fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor). Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut sebagai paradoks leontief
Berdasarkan penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama yaitu :

a. Intensitas faktor produksi yang berkebalikan
b. Tariff and Non tariff barrier
c. Pebedaan dalam skill dan human capital
d. Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam

Kelebihan dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.

C. Teori Opportunity Cost

Opportunity Cost digambarkan sebagai production possibility curve ( PPC ) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada asusmsi tentang Opportunity Cost yang digunakan yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost.

D. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD)

Teori Offer Curve ini diperkenalkan oleh dua ekonom inggris yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga.
Kelebihan dari offer curve yaitu masing-masing Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.

1. Perkembangan Ekspor di Indonesia
Nilai ekspor Indonesia Juli 2009 mencapai US$9,65 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 2,85
persen dibanding ekspor Juni 2009. Sebaliknya bila dibanding Juli 2008 mengalami penurunan sebesar
22,98 persen.
Ekspor nonmigas Juli 2009 mencapai US$8,18 miliar, naik 3,14 persen dibanding Juni 2009 sedangkan
dibanding ekspor Juli 2008 menurun 15,21 persen.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Juli 2009 mencapai US$59,72 miliar atau menurun 27,98
persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$51,08
miliar atau menurun 20,13 persen.
Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Juli 2009 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$525,6
juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada lemak & minyak hewan/nabati sebesar US$130,6 juta.
Ekspor nonmigas ke Jepang Juli 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$974,3 juta, disusul Amerika
Serikat US$942,7 juta dan Cina US$691,6 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 31,90 persen.
Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.
Menurut sektor, ekspor hasil industri periode Januari-Juli 2009 turun sebesar 26,64 persen dibanding
periode yang sama tahun 2008, demikian juga ekspor hasil pertanian menurun 11,69 persen, sebaliknya
ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 19,79 persen.

2. Tingkat Daya Saing
Daya saing Indonesia di tingkat global masih rendah. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2010-2011, World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 44, jauh di bawah Malaysia yang menempati peringkat 26, bahkan sangat jauh dibawah Singapura yang berada di peringkat 3.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia Prof. H. Syihabuddin saat menyampaikan pidato ilmiah pada Upacara Wisuda Gelombang III UPI di Gedung Gymnasium UPI, Jln. Dr. Setiabudhi Bandung, Rabu (15/12).
Menurut Asisten Deputi Urusan Pemberdayaan dan Kerukunan Umat Beragama Kedeputian Pendidikan dan Agama, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI ini, salah satu penyebab rendahnya daya saing Indonesia karena rendahnya daya saing pendidikan tinggi dan pelatihan yang kini berada di peringkat 69. Pada gilirannya rendahnya peringkat ini juga menyebabkan rendahnya daya saing di bidang keseiapan teknologi yang berada di peringkat 91.

Sumber:
http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/2009/10/07/teori-perdagangan-internasional/
http://www.pikiran-rakyat.com/node/129785

BAB.11 KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

BAB 11

KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

1. Peran Pemerintah

- Sebagai pembuat peraturan dan perundang-undangan, pemerintah bersama lembaga legislatif membuat undang-undang yang akan mengatur, mengkoordinir, dan mengawasi semua interaksi pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatannya. Contoh : UU Bank Indonesia dan UU Anti Monopoli, UU Wajib Pajak

- Sebagai produsen barang dan jasa publik karena sebagai penyelenggara negara, pemerintah wajib mengadakan berbagai barang publik bagi masyarakat, baik barang yang harus dibayar dalam penggunaannya maupun barang gratis.

- Sebagai pembuat dan penentu kebijakan ekonomi, campur tangan pemerintah ini adalah mengambil kebijakan ekonomi baik kebijakan moneter maupun fiskal, untuk mempengaruhi dan menentukan arah roda perekonomian secara langsung.

2. Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Pemerintah

1. Kebijakan moneter

a. Menambah jumlah uang beredar : moneter ekspansif ( monetery ekspansive ) →easy money
Policy
b. Mengurangi jumlah uang beredar : moneter kontraktif (monetery contractive ) →tight money
policy / kebijakan uang ketat
Kebijakan ekonomi pemerintah dalam sektor keuangan nasional, dimana pemerintah harus mengatur, mengendalikan dan mengawasi jumlah uang beredar demi pencapaian arah roda perekonomian yang diinginkan.

Instrumen / alat dalam kebijakan moneter :

a. Tingkat suku bunga (interest rate)
Kebijakan moneter dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga bank.
b. Operasi pasar terbuka (Open market operation)
Kebijakan moneter yang dilakukan dengan menjual / membeli Surat Berharga BI dan atau Surat Berharga Pasar Uang (SPBU)
c. Tingkat Bunga Diskonto (discount rate)
Kebijakan moneter dengan menetapkan tingkat suku bunga bagi pinjaman bank-bank umum kepada Bank Sentral.
d. Cadangan Wajib Minimum / CWM (Reserve requirement ratio)
Kebijakan penetapan ratio cadangan wajib minimum yang harus diserahkan oleh bank-bank umum kepada Bank Sentral untuk disimpan disana sebagai back up likuiditas mereka. Simpanan tersebut tidak berbunga.
e. Himbauan moral (Moral persuasion )
Kebijakan Bank Sentral untuk membujuk para pimpinan bank-bank umum agar berhati-hati dalam pemberian kredit kepada pihak ketiga dan membujuk mereka agar mematuhi ketentuan perundangan perbankan yang berlaku.

Kebijakan moneter seperti ini digolongkan dalam kebijakan moneter kuantitatif atau kebijakan moneter yang implikasinya dapat dikalkulasi atau diestimasi. Sedangkan moral persuasion atau imbauan moral adalah kebijakan moneter kualitatif, karena sifat kebijakan tersebut hanya himbauan dan implikasinya tidak dapat diprediksi, semua aplikasinya sangat tergantung dari kemauan dan niat baik para pemimpin bank-bank umum.

Jika perekonomian lesu, dilakukan kebijakan moneter ekspansif (kebijakan uang longgar) jika perekonomian terjadi inflasi tinggi, maka dilakukan kebijakan moneter kontraktif (kebiajkan uang ketat .
2. Kebijakan Fiskal / Perpajakan
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan anggaran pendapatan dan belanja tahunan pemerintah (APBN), guna mempengaruhi situasi dan kondisi perekonomian kearah yang diinginkan.

Instrumen dalam kebijakan Fiskal adalah kebijakan / penentuan jenis pajak dan tarif pajak (tax). Klasifikasi Pajak :
1. Pajak Objektif
Contoh : PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

2. Pajak Subjektif merupakan jenis pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan kemampuan
ekonomi subjek pajak.
Contoh : PPh (Pajak Penghasilan)

3. Pajak Langsung merupakan pajak yang dikenakan langsung pada subjek pajak.
Contoh : PPh dan Pajak Bumi Bangunan serta pajak kendaraan bermotor.

4. Pajak Tidak Langsung merupakan beban pajak yang dialihkan dari wajib pajak yang satu ke
wajib pajak yang lain.
Contoh : PPn dan PPn Bea Masuk yang harus dibayar oleh pihak produsen, maka pihak produsen membebankan PPn dan PPnBM tersebut kepada konsumen.

Tarif Pajak :

1. Pajak Proporsional
Beban pajak dengan tariff yang tetap

2. Pajak Progresif
Tarif pajak yang makin tinggi bila nilai objek pajaknya semakin tinggi seperti yang tertera dalam UU No 17/2000 mengenai pajak penghasilan. Semakin tinggi penghasilan pribadi yang didapat, semakin tinggi tarif pajak yang harus dibayarkan.



2. Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
B. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.



3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

Sumber:
http://organisasi.org/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakan-fiskal-instrumen-serta-penjelasannya
http://cindysetiawan.blogspot.com/2010/03/peran-pemerintah-dalam-perekonomian.html
Diposkan oleh Wahyudi di 02:58 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
PELAKU-PELAKU EKONOMI

BAB 10

PELAKU-PELAKU EKONOMI


1. Perusahaan Non Koperasi (UKM)

UKM adalah singkatan dari usaha kecil dan menengah. Ukm adalah salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara maupun daerah, begitu juga dengan negara indonesia ukm ini sangat memiliki peranan penting dalam lajunya perekonomian masyarakat. Ukm ini juga sangat membantu negara/pemerintah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru dan lewat ukm juga banyak tercipta unit unit kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah tangga. Selain dari itu ukm juga memiliki fleksibilitas yang tinggi jika dibandingkan denganusaha yang berkapasitas lebih besar. Ukm ini perlu perhatian yang khusus dan di dukung oleh informasi yang akurat, agar terjadi link bisnis yang terarah antara pelaku usaha kecil dan menengah dengan elemen daya saing usaha, yaitujaringan pasar. Terdapat dua aspek yang harus dikembangkan untuk membangun jaringan pasar, aspek tersebut adalah :
1. Membangun Sistem Promosi untuk Penetrasi Pasar
2. Merawat Jaringan Pasar untuk Mempertahankan Pangsa Pasar

Kinerja nyata yang dihadapi oleh sebagian besar usaha terutama mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang paling menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas, rendahnya nilai tambah, dan rendahnya kualitas produk. Walau diakui pula bahwa UMKM menjadi lapangan kerja bagi sebagian besar pekerja di Indonesia , tetapi kontribusi dalam output nasional di katagorikan rendah. Hal ini dikarenakan UMKM, khususnyausaha mikro dan sektor pertanian (yang banyak menyerap tenaga kerja), mempunyaiproduktivitas yang sangat rendah. Bila upah dijadikan produktivitas, upah rata-rata diusaha mikro dan kecil umumnya berada dibawah upah minimum. Kondisi ini merefleksikanproduktivitas sektor mikro dan kecil yang rendah bila di bandingkan dengan usaha yang lebih besar.
Di antara berbagai faktor penyebabnya, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan kemampuan wirausaha di kalangan UMKM menjadi isue yang mengemuka saat ini.Pengembangan UMKM secara parsial selama ini tidak banyak memberikan hasil yang maksimal terhadap peningkatan kinerja UMKM, perkembangan ekonomi secara lebih luas mengakibatkan tingkat daya saing kita tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti misalnya Malaysia. Karena itu kebijakan bagi UMKM bukan karena ukurannya yang kecil, tapi karena produktivitasnya yang rendah. Peningkatan produktivitas pada UMKM, akan berdampak luas pada perbaikan kesejahteraan rakyat karena UMKM adalah tempat dimana banyak orang menggantungkan sumber kehidupannya. Salah satu alternatif dalam meningkatkan produktivitas UMKM adalah dengan melakukanmodernisasi sistem usaha dan perangkat kebijakannya yang sistemik sehingga akan memberikan dampak yang lebih luas lagi dalam meningkatkan daya saing daerah.
Untuk meningkatkan daya saing UMKM diperlukan langkah bersama untuk mengangkat kemampuan teknologi dan daya inovasinnya. Dalam hal ini inovasi berarti sesuatu yang baru bagi si penerima yaitu komunitas UMKM yang bersangkutan. Kemajuan ekonomi terkait dengan tingkat perkembangan ‘technical change’ yang berarti tahap penguasaan teknologi. “Technical change” sebagian terbesar bersifat “tacit” atau tidak terkodifikasi dan dibangun di atas pengalaman. Juga bersifat kumulatif ( terbentuk secara ‘incremental’ dan dalam waktu yang tertentu ). Waktu penguasaan teknologi ini bergantung pada sektor industrinya ( ‘sector specific’) dan proses akumulasinya mengikuti trajektori tertentu yang khas.

Agar supaya pengenalan teknologi dapat menghasilkan ‘technical change’ dan inovasidalam dunia usaha diperlukan beberapa kondisi :

- Kemampuan UKM untuk menyerap, mengadopsi dan menerapkan teknologi baru dalam usahanya.

- Tingkat kompatibilitas teknologi ( spesifikasi, harga, tingkat kerumitan ) dengan kebutuhan dan kemampuan UKM yang ada.

- Ketersediaan dukungan teknis yang relevan dan bermutu untuk proses pembelajaran dalam menggunakan teknologi baru tersebut.

Untuk komersialisasi teknologi hasil riset (apalagi penemuan baru) banyak menghadapi kendala: sumber teknologi: teknologi bersifat capital intensive dan belum mempunyai nilai ekonomis, memerlukan waktu lama dalam penyesuaian terhadap kebutuhan pasar, banyak jenis teknologi yang teruji dalam tingkatan bisnis; sistem insentif komersialisasi teknologi lemah; arus utama sistem industri

Umumnya komunitas UMKM memiliki sekelompok kecil yang kreatif dan mampu mengambil peran ‘risk taker’. Kelompok ini cenderung menjadi ‘early adopter’ untuk teknologi baru. Sebagian besar cenderung menunggu karena mereka membutuhkan bukti nyata (‘tangible’) bahwa teknologi baru tersebut dapat memberi keuntungan. Dua aspek yang berlangsung inheren dalam proses ini adalah berinovasi ( ‘innovating’) dan pembelajaran ( ‘learning’)


2. BUMN

Pemerintah adalah badan-badan pemerintah yang bertugas untuk mengatur kegiatan ekonomi. Seperti halnya rumah tangga keluarga dan perusahaan, pemerintah juga sebagai pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi.

a. Kegiatan Konsumsi Pemerintah
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya membutuhkan barang dan jasa. Kegiatan konsumsi pemerintah dapat berupa kegiatan membeli alat-alat tulis kantor, membeli alat-alat kedokteran, membeli peralatan yang menunjang pendidikan, menggunakan tenaga kerja untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah, dan sebagainya.


b . Kegiatan Produksi Pemerintah
Pemerintah ikut berperan dalam menghasilkan barang dan atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2), yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Pelaksanaan peran pemerintah dalam kegiatan produksi diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian. Sebagai pelaksana kegiatan produksi pemerintah mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berikut ini maksud dan tujuan pendirian BUMN berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003.

1) Memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pad
khususnya.
2) Mencari keuntungan.
3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai bagi orang banyak.
4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
koperasi.
5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.

c. Kegiatan Distribusi Pemerintah
Selain melakukan kegiatan konsumsi, pemerintah juga berperan dalam kegiatan distribusi. Berikut ini kegiatan-kegiatan distribusi yang dilakukan pemerintah.
1) Menyalurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu kegiatan operasional yang
ada di sekolah. Misalnya mengenai penyediaan buku-buku pelajaran, dan sebagainya.

2) Memberi bantuan kepada rakyat miskin berupa penyaluran raskin (beras rakyat miskin) melalui
BULOG. Selain melakukan kegiatan pokok-pokok ekonomi, pemerintah juga berperan sebagai pengatur dan pelaksana kebijakan. Peran pemerintah sebagai pengatur yaitu dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Tujuan dibuatnya peraturan adalah agar kegiatan-kegiatan ekonomi dijalankan secara wajar dan tidak merugikan masyarakat. Sebagai contoh peraturan mengenai impor barang. Pemerintah menetapkan berbagai tarif masuk barang. Hal ini dimaksudkan agar barang-barang yang berasal dari luar negeri tidak mudah masuk ke Indonesia. Peraturan-peraturan pemerintah lainnya masih banyak, seperti peraturan pendirian industri, peraturan ekspor, perbaikan lalu lintas, kebijakan fiskal dan moneter, dan berbagai peraturan kegiatan ekonomi lainnya.

3.Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Kegiatan usaha koperasi merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat (1). Dengan adanya penjelasan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) koperasi berkedudukan sebagai soko guru perekonomian nasional dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perekonomian nasional. Sebagai salah satu pelaku ekonomi, koperasi merupakan organisasi ekonomi yang berusaha menggerakkan potensi sumber daya ekonomi demi memajukan kesejahteraan anggota. Karena sumber daya ekonomi tersebut terbatas, dan dalam mengembangkan koperasi harus mengutamakan kepentingan anggota, maka koperasi harus mampu bekerja seefisien mungkin dan mengikuti prinsip-prinsip koperasi dan kaidah-kaidah ekonomi.

a. Prinsip Koperasi

Di dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan pada pasal 5 bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah koperasi harus melaksanakan prinsip koperasi. Berikut ini beberapa prinsip koperasi.
1) Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka.
2) Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis.
3) Sisa hasil usaha (SHU) yang merupakan keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi
dibagi berdasarkan besarnya jasa masing-masing anggota.
4) Modal diberi balas jasa secara terbatas.
5) Koperasi bersifat mandiri.

b . Fungsi dan Peran Koperasi

Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992, fungsi dan peran koperasi di Indonesia seperti berikut ini.

1) Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial
Potensi dan kemampuan ekonomi para anggota koperasi pada umumnya relatif kecil. Melalui koperasi, potensi dan kemampuan ekonomi yang kecil itu dihimpun sebagai satu kesatuan, sehingga dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan demikian koperasi akan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat pada umumnya dan anggota koperasi pada khususnya.


2) Turut serta secara aktif dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat
Selain diharapkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya, koperasi juga diharapkan dapat memenuhi fungsinya sebagai wadah kerja sama ekonomi yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan kualitas kehidupan hanya bisa dicapai koperasi jika ia dapat mengembangkan kemampuannya dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota-anggotanya serta masyarakat disekitarnya.

3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian
nasional
Koperasi adalah satu-satunya bentuk perusahaan yang dikelola secara demokratis. Berdasarkan sifat seperti itu maka koperasi diharapkan dapat memainkan peranannya dalam menggalang dan memperkokoh perekonomian rakyat. Oleh karena itu koperasi harus berusaha sekuat tenaga agar memiliki kinerja usaha yang tangguh dan efisien. Sebab hanya dengan cara itulah koperasi dapat menjadikan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.

4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupaka usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi
Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian Indonesia, koperasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perekonomian nasional bersama-sama dengan pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Namun koperasi mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dari sifat bentuk perusahaan lainnya, maka koperasi menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian koperasi harus mempunyai kesungguhan untuk memiliki usaha yang sehat dan tangguh, sehingga dengan cara tersebut koperasi dapat mengemban amanat dengan baik.

c . Manfaat Koperasi

Berdasarkan fungsi dan peran koperasi, maka manfaat koperasi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu manfaat koperasi di bidang ekonomi dan manfaat koperasi di bidang sosial.

1 ) Manfaat Koperasi di Bidang Ekonomi
Berikut ini beberapa manfaat koperasi di bidang ekonomi.
a) Meningkatkan penghasilan anggota-anggotanya. Sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi
dibagikan kembali kepada para anggotanya sesuai dengan jasa dan aktivitasnya.
b) Menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Barang dan jasa yang
ditawarkan oleh koperasi lebih murah dari yang ditawarkan di toko-toko. Hal ini bertujuan agar barang dan jasa mampu dibeli para anggota koperasi yang kurang mampu.
c) Menumbuhkan motif berusaha yang berperikemanusiaan. Kegiatan koperasi tidak semata-
mata mencari keuntungan tetapi melayani dengan baik keperluan anggotanya.
d) Menumbuhkan sikap jujur dan keterbukaan dalam pengelolaan koperasi. Setiap anggota
berhak menjadi pengurus koperasi dan berhak mengetahui laporan keuangan koperasi.
e) Melatih masyarakat untuk menggunakan pendapatannya secara lebih efektif dan
membiasakan untuk hidup hemat.

2 ) Manfaat Koperasi di Bidang Sosial
Di bidang sosial, koperasi mempunyai beberapa manfaat berikut ini.
a) Mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat damai dan tenteram.
b) Mendorong terwujudnya aturan yang manusiawi yang dibangun tidak di atas hubungan-
hubungan kebendaan tetapi di atas rasa kekeluargaan.
c) Mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki semangat kerja sama dan semangat
kekeluargaan.
d . Bidang Usaha Koperasi

Berdasarkan atas bidang usahanya, koperasi dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yaitu koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi pemasaran, koperasi kredit, dan koperasi jasa.
1 ) Koperasi konsumsi
Koperasi konsumsi adalah koperasi yang berusaha dalam bidang penyediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Jenis konsumsi yang dilayaninya sangat tergantung pada latar belakang kebutuhan anggotanya. Misalnya koperasi konsumsi dalam lingkungan pelajar biasanya menjual alat-alat tulis, buku-buku, serta alat-alat keperluan belajar lainnya, dan sebagainya.

2 ) Koperasi produksi
Koperasi produksi adalah koperasi yang kegiatan utamanya melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi. Selain memproduksi barang, koperasi juga melakukan pemasaran barang-barang yang telah dihasilkannya tersebut. Misalnya koperasi pengrajin batik, koperasi peternakan, dan sebagainya.

3 ) Koperasi pemasaran
Koperasi pemasaran adalah koperasi yang dibentuk terutama untuk membantu para anggotanya dalam memasarkan barang-barang yang mereka hasilkan. Contohnya koperasi pemasaran elektronik, koperasi alat-alat tulis kantor, dan sebagainya.

4 ) Koperasi kredit
Koperasi kredit disebut juga koperasi simpan pinjam. Koperasi kredit adalah koperasi yang usahanya memupuk simpanan dari para anggota dan memberikan pinjaman uang kepada para anggota dengan bunga rendah, syarat mudah, dan angsuran ringan. Misalnya koperasi simpan pinjam dengan anggota petani, koperasi simpan pinjam dengan anggota nelayan, dan sebagainya.

5 ) Koperasi jasa
Koperasi jasa ialah koperasi yang memberi layanan atau jasa kepada para anggotanya. Contohnya koperasi angkutan, koperasi perumahan, koperasi asuransi, dan sebagainya.
Sumber:

http://www.usaha-kecil.com/usaha_kecil_menengah.html
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Pelaku-Pelaku_Ekonomi_8.1_(BAB_8)

BAB.10 PELAKU-PELAKU EKONOMI

BAB 10

PELAKU-PELAKU EKONOMI


1. Perusahaan Non Koperasi (UKM)

UKM adalah singkatan dari usaha kecil dan menengah. Ukm adalah salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara maupun daerah, begitu juga dengan negara indonesia ukm ini sangat memiliki peranan penting dalam lajunya perekonomian masyarakat. Ukm ini juga sangat membantu negara/pemerintah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru dan lewat ukm juga banyak tercipta unit unit kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah tangga. Selain dari itu ukm juga memiliki fleksibilitas yang tinggi jika dibandingkan denganusaha yang berkapasitas lebih besar. Ukm ini perlu perhatian yang khusus dan di dukung oleh informasi yang akurat, agar terjadi link bisnis yang terarah antara pelaku usaha kecil dan menengah dengan elemen daya saing usaha, yaitujaringan pasar. Terdapat dua aspek yang harus dikembangkan untuk membangun jaringan pasar, aspek tersebut adalah :
1. Membangun Sistem Promosi untuk Penetrasi Pasar
2. Merawat Jaringan Pasar untuk Mempertahankan Pangsa Pasar

Kinerja nyata yang dihadapi oleh sebagian besar usaha terutama mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang paling menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas, rendahnya nilai tambah, dan rendahnya kualitas produk. Walau diakui pula bahwa UMKM menjadi lapangan kerja bagi sebagian besar pekerja di Indonesia , tetapi kontribusi dalam output nasional di katagorikan rendah. Hal ini dikarenakan UMKM, khususnyausaha mikro dan sektor pertanian (yang banyak menyerap tenaga kerja), mempunyaiproduktivitas yang sangat rendah. Bila upah dijadikan produktivitas, upah rata-rata diusaha mikro dan kecil umumnya berada dibawah upah minimum. Kondisi ini merefleksikanproduktivitas sektor mikro dan kecil yang rendah bila di bandingkan dengan usaha yang lebih besar.
Di antara berbagai faktor penyebabnya, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan kemampuan wirausaha di kalangan UMKM menjadi isue yang mengemuka saat ini.Pengembangan UMKM secara parsial selama ini tidak banyak memberikan hasil yang maksimal terhadap peningkatan kinerja UMKM, perkembangan ekonomi secara lebih luas mengakibatkan tingkat daya saing kita tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti misalnya Malaysia. Karena itu kebijakan bagi UMKM bukan karena ukurannya yang kecil, tapi karena produktivitasnya yang rendah. Peningkatan produktivitas pada UMKM, akan berdampak luas pada perbaikan kesejahteraan rakyat karena UMKM adalah tempat dimana banyak orang menggantungkan sumber kehidupannya. Salah satu alternatif dalam meningkatkan produktivitas UMKM adalah dengan melakukanmodernisasi sistem usaha dan perangkat kebijakannya yang sistemik sehingga akan memberikan dampak yang lebih luas lagi dalam meningkatkan daya saing daerah.
Untuk meningkatkan daya saing UMKM diperlukan langkah bersama untuk mengangkat kemampuan teknologi dan daya inovasinnya. Dalam hal ini inovasi berarti sesuatu yang baru bagi si penerima yaitu komunitas UMKM yang bersangkutan. Kemajuan ekonomi terkait dengan tingkat perkembangan ‘technical change’ yang berarti tahap penguasaan teknologi. “Technical change” sebagian terbesar bersifat “tacit” atau tidak terkodifikasi dan dibangun di atas pengalaman. Juga bersifat kumulatif ( terbentuk secara ‘incremental’ dan dalam waktu yang tertentu ). Waktu penguasaan teknologi ini bergantung pada sektor industrinya ( ‘sector specific’) dan proses akumulasinya mengikuti trajektori tertentu yang khas.

Agar supaya pengenalan teknologi dapat menghasilkan ‘technical change’ dan inovasidalam dunia usaha diperlukan beberapa kondisi :

- Kemampuan UKM untuk menyerap, mengadopsi dan menerapkan teknologi baru dalam usahanya.

- Tingkat kompatibilitas teknologi ( spesifikasi, harga, tingkat kerumitan ) dengan kebutuhan dan kemampuan UKM yang ada.

- Ketersediaan dukungan teknis yang relevan dan bermutu untuk proses pembelajaran dalam menggunakan teknologi baru tersebut.

Untuk komersialisasi teknologi hasil riset (apalagi penemuan baru) banyak menghadapi kendala: sumber teknologi: teknologi bersifat capital intensive dan belum mempunyai nilai ekonomis, memerlukan waktu lama dalam penyesuaian terhadap kebutuhan pasar, banyak jenis teknologi yang teruji dalam tingkatan bisnis; sistem insentif komersialisasi teknologi lemah; arus utama sistem industri

Umumnya komunitas UMKM memiliki sekelompok kecil yang kreatif dan mampu mengambil peran ‘risk taker’. Kelompok ini cenderung menjadi ‘early adopter’ untuk teknologi baru. Sebagian besar cenderung menunggu karena mereka membutuhkan bukti nyata (‘tangible’) bahwa teknologi baru tersebut dapat memberi keuntungan. Dua aspek yang berlangsung inheren dalam proses ini adalah berinovasi ( ‘innovating’) dan pembelajaran ( ‘learning’)


2. BUMN

Pemerintah adalah badan-badan pemerintah yang bertugas untuk mengatur kegiatan ekonomi. Seperti halnya rumah tangga keluarga dan perusahaan, pemerintah juga sebagai pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi.

a. Kegiatan Konsumsi Pemerintah
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya membutuhkan barang dan jasa. Kegiatan konsumsi pemerintah dapat berupa kegiatan membeli alat-alat tulis kantor, membeli alat-alat kedokteran, membeli peralatan yang menunjang pendidikan, menggunakan tenaga kerja untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah, dan sebagainya.


b . Kegiatan Produksi Pemerintah
Pemerintah ikut berperan dalam menghasilkan barang dan atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2), yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Pelaksanaan peran pemerintah dalam kegiatan produksi diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian. Sebagai pelaksana kegiatan produksi pemerintah mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berikut ini maksud dan tujuan pendirian BUMN berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2003.

1) Memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pad
khususnya.
2) Mencari keuntungan.
3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai bagi orang banyak.
4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
koperasi.
5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.

c. Kegiatan Distribusi Pemerintah
Selain melakukan kegiatan konsumsi, pemerintah juga berperan dalam kegiatan distribusi. Berikut ini kegiatan-kegiatan distribusi yang dilakukan pemerintah.
1) Menyalurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu kegiatan operasional yang
ada di sekolah. Misalnya mengenai penyediaan buku-buku pelajaran, dan sebagainya.

2) Memberi bantuan kepada rakyat miskin berupa penyaluran raskin (beras rakyat miskin) melalui
BULOG. Selain melakukan kegiatan pokok-pokok ekonomi, pemerintah juga berperan sebagai pengatur dan pelaksana kebijakan. Peran pemerintah sebagai pengatur yaitu dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Tujuan dibuatnya peraturan adalah agar kegiatan-kegiatan ekonomi dijalankan secara wajar dan tidak merugikan masyarakat. Sebagai contoh peraturan mengenai impor barang. Pemerintah menetapkan berbagai tarif masuk barang. Hal ini dimaksudkan agar barang-barang yang berasal dari luar negeri tidak mudah masuk ke Indonesia. Peraturan-peraturan pemerintah lainnya masih banyak, seperti peraturan pendirian industri, peraturan ekspor, perbaikan lalu lintas, kebijakan fiskal dan moneter, dan berbagai peraturan kegiatan ekonomi lainnya.


3.Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Kegiatan usaha koperasi merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat (1). Dengan adanya penjelasan UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) koperasi berkedudukan sebagai soko guru perekonomian nasional dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perekonomian nasional. Sebagai salah satu pelaku ekonomi, koperasi merupakan organisasi ekonomi yang berusaha menggerakkan potensi sumber daya ekonomi demi memajukan kesejahteraan anggota. Karena sumber daya ekonomi tersebut terbatas, dan dalam mengembangkan koperasi harus mengutamakan kepentingan anggota, maka koperasi harus mampu bekerja seefisien mungkin dan mengikuti prinsip-prinsip koperasi dan kaidah-kaidah ekonomi.

a. Prinsip Koperasi

Di dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan pada pasal 5 bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah koperasi harus melaksanakan prinsip koperasi. Berikut ini beberapa prinsip koperasi.
1) Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka.
2) Pengelolaan koperasi dilakukan secara demokratis.
3) Sisa hasil usaha (SHU) yang merupakan keuntungan dari usaha yang dilakukan oleh koperasi
dibagi berdasarkan besarnya jasa masing-masing anggota.
4) Modal diberi balas jasa secara terbatas.
5) Koperasi bersifat mandiri.

b . Fungsi dan Peran Koperasi

Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992, fungsi dan peran koperasi di Indonesia seperti berikut ini.

1) Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial
Potensi dan kemampuan ekonomi para anggota koperasi pada umumnya relatif kecil. Melalui koperasi, potensi dan kemampuan ekonomi yang kecil itu dihimpun sebagai satu kesatuan, sehingga dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan demikian koperasi akan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat pada umumnya dan anggota koperasi pada khususnya.


2) Turut serta secara aktif dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat
Selain diharapkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya, koperasi juga diharapkan dapat memenuhi fungsinya sebagai wadah kerja sama ekonomi yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan kualitas kehidupan hanya bisa dicapai koperasi jika ia dapat mengembangkan kemampuannya dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota-anggotanya serta masyarakat disekitarnya.

3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian
nasional
Koperasi adalah satu-satunya bentuk perusahaan yang dikelola secara demokratis. Berdasarkan sifat seperti itu maka koperasi diharapkan dapat memainkan peranannya dalam menggalang dan memperkokoh perekonomian rakyat. Oleh karena itu koperasi harus berusaha sekuat tenaga agar memiliki kinerja usaha yang tangguh dan efisien. Sebab hanya dengan cara itulah koperasi dapat menjadikan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.

4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupaka usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi
Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian Indonesia, koperasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perekonomian nasional bersama-sama dengan pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Namun koperasi mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dari sifat bentuk perusahaan lainnya, maka koperasi menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian koperasi harus mempunyai kesungguhan untuk memiliki usaha yang sehat dan tangguh, sehingga dengan cara tersebut koperasi dapat mengemban amanat dengan baik.

c . Manfaat Koperasi

Berdasarkan fungsi dan peran koperasi, maka manfaat koperasi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu manfaat koperasi di bidang ekonomi dan manfaat koperasi di bidang sosial.

1 ) Manfaat Koperasi di Bidang Ekonomi
Berikut ini beberapa manfaat koperasi di bidang ekonomi.
a) Meningkatkan penghasilan anggota-anggotanya. Sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi
dibagikan kembali kepada para anggotanya sesuai dengan jasa dan aktivitasnya.
b) Menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Barang dan jasa yang
ditawarkan oleh koperasi lebih murah dari yang ditawarkan di toko-toko. Hal ini bertujuan agar barang dan jasa mampu dibeli para anggota koperasi yang kurang mampu.
c) Menumbuhkan motif berusaha yang berperikemanusiaan. Kegiatan koperasi tidak semata-
mata mencari keuntungan tetapi melayani dengan baik keperluan anggotanya.
d) Menumbuhkan sikap jujur dan keterbukaan dalam pengelolaan koperasi. Setiap anggota
berhak menjadi pengurus koperasi dan berhak mengetahui laporan keuangan koperasi.
e) Melatih masyarakat untuk menggunakan pendapatannya secara lebih efektif dan
membiasakan untuk hidup hemat.

2 ) Manfaat Koperasi di Bidang Sosial
Di bidang sosial, koperasi mempunyai beberapa manfaat berikut ini.
a) Mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat damai dan tenteram.
b) Mendorong terwujudnya aturan yang manusiawi yang dibangun tidak di atas hubungan-
hubungan kebendaan tetapi di atas rasa kekeluargaan.
c) Mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki semangat kerja sama dan semangat
kekeluargaan.
d . Bidang Usaha Koperasi

Berdasarkan atas bidang usahanya, koperasi dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yaitu koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi pemasaran, koperasi kredit, dan koperasi jasa.
1 ) Koperasi konsumsi
Koperasi konsumsi adalah koperasi yang berusaha dalam bidang penyediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Jenis konsumsi yang dilayaninya sangat tergantung pada latar belakang kebutuhan anggotanya. Misalnya koperasi konsumsi dalam lingkungan pelajar biasanya menjual alat-alat tulis, buku-buku, serta alat-alat keperluan belajar lainnya, dan sebagainya.

2 ) Koperasi produksi
Koperasi produksi adalah koperasi yang kegiatan utamanya melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi. Selain memproduksi barang, koperasi juga melakukan pemasaran barang-barang yang telah dihasilkannya tersebut. Misalnya koperasi pengrajin batik, koperasi peternakan, dan sebagainya.

3 ) Koperasi pemasaran
Koperasi pemasaran adalah koperasi yang dibentuk terutama untuk membantu para anggotanya dalam memasarkan barang-barang yang mereka hasilkan. Contohnya koperasi pemasaran elektronik, koperasi alat-alat tulis kantor, dan sebagainya.

4 ) Koperasi kredit
Koperasi kredit disebut juga koperasi simpan pinjam. Koperasi kredit adalah koperasi yang usahanya memupuk simpanan dari para anggota dan memberikan pinjaman uang kepada para anggota dengan bunga rendah, syarat mudah, dan angsuran ringan. Misalnya koperasi simpan pinjam dengan anggota petani, koperasi simpan pinjam dengan anggota nelayan, dan sebagainya.

5 ) Koperasi jasa
Koperasi jasa ialah koperasi yang memberi layanan atau jasa kepada para anggotanya. Contohnya koperasi angkutan, koperasi perumahan, koperasi asuransi, dan sebagainya.
Sumber:

http://www.usaha-kecil.com/usaha_kecil_menengah.html
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Pelaku-Pelaku_Ekonomi_8.1_(BAB_8)

BAB.9 INDUSTRIALISASI DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI

INDUSTRIALISASI DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI

BAB. 9

INDUSTRIALISASI DAN PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI


A. PENDAHULUAN

Istilah industrialisasi secara ekonomi diartikan sebagai kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, dapat pula diartikan sebagai himpunan perusahaan-perusahaan sejenis dimana kata industry dirangkai dengan kata yang menerangkan jenis industrinya. Misalnya, industry obat-obatan, industry garmen, industry perkayuan, dsb.

B. SEJARAH SEKTOR INDUSTRI DI INDONESIA

Tahun 1920an industry modern di Indonesia hampir semua dimiliki oleh orang asing, walau jumlahnya hanya sedikit. Indutri kecil yang ada pada masa itu berupa industry rumah tangga seperti penggilingan padi, pembuatan gula merah (tebu dan nira), rokok kretek, kerajinan tekstil, dan sebagainya tidak terkoordinasi dengan baik.
Perusahaan modern hanya ada dua, yaitu pabrik rokok milik British American Tobaco (BAT) dan perakitan kendaraan bermotor General Motor Car Assembly. Depresi ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1930an meruntuhkan perekonomian, megakibatkan menurunnya penerimaan ekspor dari 1.448 gulden menjadi 505 gulden (1929) yang mengakibatkan pengangguran. Melihat situasi tersebut pemerintah Hindia Belanda mengubah system dan pola kenijakan ekonomi dari sector perkebunan ke sector industry, dengan memberi kemudahan dalam pemberian ijin dan fasilitas bagi pendirian industry baru.
Berdasarkan Sensus Industri Pertama (1939), industry yang ada ketika itu mempekerjakan 173 ribu orang di bidang pengolahan makanan, tekstil dan barang logam, semuanya milik asing. Pada masa PD II kondisi industrialisasi cukup baik. Namun setelah pendudukan Jepang keadaannya terbalik. Disebabkan larangan impor bahan mentah dan diangkutnya barang capital ke Jepang dan pemaksaan tenaga kerja (romusha). Setelah Indonesia merdeka, mulai dikembangkan sector industry dan menawarkan investasi walau dalam tahap coba-coba. Tahun 1951 pemerintah meluncurkan RUP (Rencana Urgensi Perekonomian). Program utamanya menumbuhkan dan mendorong industry kecil pribumi dan memberlakukan pembatasan industry besar atau modern yang dimiliki orang Eropa dan Cina.

C. KONSEP DAN TUJUAN INDUSTRIALISASI

Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industry pertama pada pertengahan abad 18 di Inggris dengan penemuan metode baru untuk pemintalan dan penenunan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi dan peningkatan produktivitas dari factor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam pengolahan besi dan mesin uap yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara lain besi baja, kereta api dan kapal tenaga uap.
Revolusi industry kedua akhir abad 18 dan awal abad 19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi membantu laju industrialisasi. Setelah PD II muncul berbagai teknologi baru seperti produksi masal dengan menggunakan assembly line, tenaga listrik, kendaraan bermotor, penemuan barang sintetis dan revolusi teknologi komunikasi, elektronik, bio, computer dan penggunaan robot.

D. PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NASIONAL

Sector industry manufaktur di banyak Negara berkembang mengalami perkembangan sangat pesat dalam tiga decade terakhir. Asia Timur dan Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kasus istimewa. Lebih dari 25 tahun terakhir, dijuluki a miraculous economic karena kinerja ekonominya sangat hebat. Dari 1970 hinga 1995, industry manufaktur merupakan contributor utama.
Untuk melihat sejauh mana perkembangan industry manufaktur di Indonesia selama ini, perlu dilihat perbandingan kinerjanya dengan sector yang sama di Negara-negara lain. Dalam kelompok ASEAN, misalnya kontribusi output dari sector industry manufaktur terhadap pembentukan PDB di Indonesia masih relative kecil, walaupun laju pertumbuhan output rata-ratanya termasuk tinggi di Negara-negara ASEAN lainnya. Struktur ini menandakan Indonesia belum merupakan Negara dengan tingkat industrialisasi yang tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand.

E. PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI MANUFAKTUR

Secara umum, industry manufaktur di Negara-negara berkembang masih terbelakang jika dibandingkan dengan sector yang sama di Negara maju, walaupun di Negara-negara berkembanga ada Negara-negara yang industrinya sudah sangat maju.
Dalam kasus Indonesia, UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah yang dihadapi industry manufaktur nasional ke dalam 2 kategori, yaitu kelemahan yang bersifat structural dan yang bersifat organisasi.

Kelemahan-kelemahan structural di antaranya:

1. Basis ekspor dan pasarnya yang sempit
a. Empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil dan alas kaki memiliki pangsa 50% dari nilai
total manufaktur
b. Pasar tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas
c. Tiga Negara (US, Jepang dan Singapura), menyerap 50% dari total ekspor manufaktur Indonesia, sementara US menyerap hampir setengah total nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi
d. Sepuluh produk menyumbang 80% seluruh hasil ekspor manufaktur
e. Banyak produk manufaktur padat karya yang terpilih sebagai produk unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia akibat persaingan ketat
f. Banyak produk manufaktur yang merupakan ekspor tradisional Indonesia mengalami penurunan daya saing
2. Ketergantungan impor yang sangat tinggi
3. Tidak adanya industry berteknologi menengah
4. Konsentrasi regional

Kelemahan-kelemahan organisasi, di antaranya:
1. Industry skala kecil dan menengah (IKM) masih underdeveloped
2. Konsentrasi pasar
3. Lemahnya kapasitas untuk menyerap dan mengembangkan teknologi
4. Lemahnya SDM

F. STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR INDUSTRI

Subtitusi Impor (inward-looking)

Promosi Ekspor (outward-looking)
Strategi industrialisasi

1. Strategi Subtitusi Impor
- Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada pasar domestic
- Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang menggantikan impor
- Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan

mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor
Pertimbangan yang lajim digunakan dalam memilih strategi ini adalah:
a. SDA dan factor produksi lain (terutama tenaga kerja) cukup tersedia
b. Potensi permintaan dalam negeri memadai
c. Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d. Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e. Dapat mengurangi ketergantungan impor

2. Penerapan strategi subtitusi impor dan hasilnya di Indonesia
Industry manufaktur nasional tidak berkembang baik selama orde baru
Ekspor manufaktur Indonesia belum berkembang dengan baik
Kebijakan proteksi yang berlebihan selama orde baru menimbulkan high cost economy
Teknologi yang digunakan oleh industry dalam negeri, sangat diproteksi

3. Strategi Promosi Ekspor
Lebih berorientasi ke pasar internasional dalam pengembangan usaha dalam negeri
Tidak ada diskriminasi dalam pemberian insentif dan fasilitas kemudahan lainnya dari pemerintah
Dilandasi pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai jika produk yang dibuat di dalam negeri dijual di pasar ekspor
Strategi promosi ekspor mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif

4. Kebijakan industrialisasi
Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan sederhana
Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan kebijakan
pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN

Diberlakukannya Undang-undang PMA